Selasa, 17 Februari 2009

tudas rek

TEKNIK
PEMASANGAN KATETHER URINE





Disusun oleh :
Angga Arya : 070 101 002
Hendra Mulyono : 070 101 0
Linda Puspita Sari :070 101 0
Taufik Priyaditama : 070 101 0


S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BAKTI INDONESIA
2009/2010

Daftar isi
























TEKNIK PEMASANGAN KATETHER URINE
Definisi
Kateterisasi urine adalah tindakan memasukan selang kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine. Kateterisasi dapat menyebabkan hal - hal yang mengganggu kesehatan sehingga hanya dilakukan bila benar - benar diperlukan serta harus dilakukan dengan hati – hati ( Brockop dan Marrie, 1999 ).
Menurut ( Brockop dan Marrie, 1999 ) pemasangan kateter urine dapat dilakukan untuk diagnosis maupun sebagai terapi. Indikasi pemasangan kateter urine untuk diagnosis adalah  sebagai berikut :
1.Untuk mengambil sample urine guna pemeriksaan kultur mikrobiologi dengan menghindari kontaminasi.
2.Pengukuran residual urine dengan cara, melakukan regular kateterisasi pada klien segera setelah mengakhiri miksinya dan kemudian diukur jumlah urine yang keluar.
3.Untuk pemeriksaan cystografi, kontras dimasukan dalam kandung kemih melalui kateter.
Indikasi Pemasangan Kateter urine sebagai Terapi adalah :
1.Dipakai dalam beberapa operasi traktus urinarius bagian bawah seperti secsio alta, repair reflek vesico urethal, prostatatoktomi sebagai drainage kandung kemih.
2.Mengatasi obstruksi infra vesikal seperti pada BPH, adanya bekuan darah dalam buli-buli, striktur pasca bedah dan proses inflamasi pada urethra.
3.Penanganan incontinensia urine dengan intermitten self catheterization.
4.Pada tindakan kateterisasi bersih mandiri berkala ( KBMB ).
5.Memasukan obat-obat intravesika antara lain sitostatika / antipiretika untuk buli – buli.
6.Sebagai splint setelah operasi rekontruksi urethra untuk tujuan stabilisasi urethra,Saat ini ukuran kateter yang biasanya dipergunakan adalah ukuran dengan kalibrasi French ( FR ) atau disebut juga Charriere ( CH ). Ukuran tersebut didasarkan atas ukuran diameter lingkaran kateter tersebut misalkan 18 FR atau CH 18 mempunyai diameter 6 mm dengan patokan setiap ukuran 1 FR = CH 1 berdiameter 0,33 mm. Diameter yang diukur adalah diameter pemukaan luar kateter. Besar kecilnya diameter kateter yang digunakan ditentukan oleh tujuan pemasangan kateter urine tersebut untuk klien dewasa,ukuran kateter urine yang biasa digunakan adalah 16-19 FR. Kateter yang mempunyai ukuran yang sama belum tentu mempunyai diameter lumen yang sama karena perbedaan bahan dan jumlah lumen pada kateter tersebut.
Saat ini ukuran kateter yang biasanya dipergunakan adalah ukuran dengan kalibrasi French ( FR ) atau disebut juga Charriere ( CH ). Ukuran tersebut didasarkan atas ukuran diameter lingkaran kateter tersebut misalkan 18 FR atau CH 18 mempunyai diameter 6 mm dengan patokan setiap ukuran 1 FR = CH 1 berdiameter 0,33 mm. Diameter yang diukur adalah diameter pemukaan luar kateter. Besar kecilnya diameter kateter yang digunakan ditentukan oleh tujuan pemasangan kateter urine tersebut untuk klien dewasa,ukuran kateter urine yang biasa digunakan adalah 16-19 FR. Kateter yang mempunyai ukuran yang sama belum tentu mempunyai diameter lumen yang sama karena perbedaan bahan dan jumlah lumen pada kateter tersebut.
Bahan kateter dapat berasal dari logam ( Stainlles ), karet ( Latteks ), latteks dengan lapiasan silicon ( Siliconized ). Perbedaan bahan kateter menentukan biokompabiliti kateter didalam buli-buli sehingga akan mempengaruhi daya tahan kateter yang terpasang di buli - buli.
Menurut ( Brunner dan Suddart, 1986 ), Prosedur pemasamgan kateter urine melalui beberapa tahap :
Persiapan alat
Kateter yang akan dipasang sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan  satu ( 1 ) buah disiapkan dalam bak steril.
Pinset anatomis 1 buah.
Sarung tangan 1 pasang.
Spuit 10-20 cc 1 buah.
Kain kassa 2 lembar.
Kapas sublimate dalam tempatnya.
Air / aquabidest NaCl 0,9 % secukupnya.
Jelly 2 % atau sejenisnya
Slang dan kantong untuk menampung urine.2.
Bengkok 1 buah.
Alas bokong 1 buah
Lampu sorot bila perlu
sampiran tangan 1 pasang
Selimut mandi / kain penutup
Botol kecil steril untuk bahan pemeriksaan steril.
a)Persiapan klien
Terutama untuk tindakan kateterisasi urine klien harus diberi penjelasan secara adekuat tentang prosedur dan tujuan pemasangan kateter urine. Posisi yang biasa dilakukan adalah dorsal recumbent,berbaring di tempat tidur / diatas meja perawatan khususnya bagi wanita kurang memberikan fasa nyaman karena panggul tidak ditopang sehingga untuk melihat meatus urethra menjadi sangat sulit. Posisi sims / lateral dapat dipergunakan sebagai posisi berbaring / miring sama baiknya tergantung posisi mana yang dapat memberikan praaan nyaman bagi klien dan perawat saat melakukan tindakan kateterisasi urine.
b)Pelaksanaan
Mencuci tangan
Pasang sampiran dan pintu ditutup
Perlak dan alasnya dipsang dibawah gluteus
Letakan 2 bengkok diantara kedua tungkai klien
Pada klien pria
Klien berbaring, perawat berada di sebelah klien, meatus uretra dan glandula penis
disinfeksi dengan cairan antiseptic, pasang doek bolong dan perawat memakai handscone steril, selang kateter diberi jelly secukupnya pada pemukaan yang akan dimasukan pada uretra, penis ditegakkan lurus keatas dan kateter urine dimasukan perlahan kedalam buli-buli, anjurkan klien untuk menarik nafas panjang.
Pada klien wanita
Labia mayora dibuka dengan ibu jari dan telunjuk tangan perawat yang dibungkus dengan kapas savlon, bersihkan vulva sekurang -  kurangnya tiga kali, perawat memakai sarung tangan dengan menggunakan kassa steril dan bethadin 10% disinfeksi labia mayora dan lipat paha, pasang doek bolong steril, kateter urine dimasukan perlahan - lahan yang sebelumnya telah diberi jelly dan klien dianjurkan menarik nafas dalam.
Urine yang keluar ditampung dalam urine bag.
Isi balon kateter urine dengan aquabidest / nacl 0,9% = 10 cc sesuai dengan petunjuk yang tertera pada pembungkus kateter urine.
Fiksasi kateter urine di daerah pangkal paha
Letakan urine bag lebih rendah daripada kandung kemih atau gantung urine bag di bed.
Disinfeksi sambungan urine bag dengan kateter urine.
Rapihkan klien,bersihkan alat,
Perawat cuci tangan
Memberikan penjelasan kembali tentang prosedur tindakan pada klien.
Catan respon, ukuran, Waktu

Minggu, 15 Februari 2009

asuhan kebidanan

TEKNIK DOKUMENTASI

Narative

Þ Pendekatan tradisional

Þ Cara penulisan ini mengikuti dengan ketat urutan kejadian/kronologi

Yang perlu diperhatikan

1. Pakai terminologi yang sudah lazim dipakai

(ex. Pengkajian, perencanaan, diganosa, evaluasi dll)

2. Dalam pencatatan perhatian langkah-langkah kumpulan data subjektif –objektif. Kaji kebutuhan pasien dan tentukan diagnosa dan prognosa kemudian buat rencana asuhan/tindakan dengan memberi batasan waktu untuk mencapai hasil yang diprediksi.

3. Tulis prediksi/sempurnakan dan rencana asuhan sebagai bagian dari catatan anda.

4. Buat penilaian anda secara periodik dan monitor kondisi fisik dan psikologis pasien.

5. Catat semua pernyataan/evaluasi.

Flow Sheet ¦ berupa tabel

Flow sheet dapat digunakan untuk mendokumentasikan

1. Activity of Daily Living (ADL) ¦ kebiasaan sehari-hari

2. Vital sign

3. Keseimbangan cairan

4. Observasi

5. Pemberian obat-obatan

Keuntungan :

1. Meningkatkan kualitas yang

2. Mudah dibaca

3. Pendokumentasian kebidanan > tepat

4. Perbandingan data dari beberapa kkt dapat ditingkatkan

5. Membatasi tulisan secara narasi yang lama

Kerugian :

1. Kemungkinan terjadi duplikasi dari dokumentasi

2. Medical record menjadi lebih luas

3. Design formal ¦ mungkin ada form yang tidak diinginkan

Prognosa : perkiraan

Design follow sheet/check list

- Tidak ada standar peraturan dalam pembuatan formal

- Design yang baik harus ada instruksi/kunci

Element pada flow sheet/check list

1. Kolom dengan ruang untuk menempatkan tanda dan inisial orang yang melaksanakan.

2. Ada ruang untuk nama pasien, hari, bulan, tahun, tanda tangan.

3. Ada judul

4. Penggunaannya biasa pada pengkajian

Petunjuk penggunaan flow sheet

1. Lengkap format gunakan check (Ö) atau cross (x)/lingkaran.

2. Pertahankan agar letak flow sheet pada kondisi yang tepat.

3. Bubuhkan tanda tangan.

4. Tulis tanggal, waktu pemasukan data

MODEL DOKUMENTASI

1. Model Narative

- Catatan dalam bentuk cerita untuk menggambarkan keadaan pasien

Keuntungan :

- Sudah dikenal oleh semua bidan/nakes.

- Mudah dikombinasikan dengan cara dokumentasi lainnya.

- Bila ditulis dengan tepat dapat mencakup seluruh keadaan pasien

- Mudah ditulis.

2. Model Orientasi Masalah

- POR (Problem Orientasi Record)

- Diperkenalkan oleh dr. Lowrence (1969)

Berisi dokumen masalah pasien dan intervensi pemecahannya

- Digunakan oleh para dokter dikembangkan di dunia keperawatan/kebidanan dalam bentuk POR yang merupakan dokumentasi multidisuplimer

Setelah 20 tahun sistem ini dikembangkan langsung menjadi sistem SOAP Nakes

S Subjektif : data dari pasien (riwayat, biodata)

O Objektif : hasil pemeriksaan fisik

A Analisis/Assesment/Diagnosa

P Planning : pelaksanaan intervensi craluasi implemen

Adapun yang menggunakan sistem SOAP PIE

S : Subjetif

O : Objektif R : Reassasment/Reevaluasi

A : Analisa D : Dokumentasi ¦ kesimpulan

P : Perencanaan

I : Implementasi

E : Evaluasi

Keuntungan :

- Terstruktur karena informasi konsisten

- Mencakup semua proses perawatan

- Merupakan catatan terintegrasi dengan medik

- Mudah dipakai untuk mengendalikan mutu

Kekurangan :

- Menekankan pada masalah dan ketidakstabian dapat menghasilkan suatu pendekatan secara negatif terhadap pengobatan/tindakan.

- Sistem ini setelah digunakan apabila dapftar tidak dimulai/tidak berkesinambungan/diperbarui terus menerus belum disetujui/tidak ada batas waktu untuk evaluasi dan strategi untuk follow up belum disepakati.

- Perawatan mungkin tidak tercatat bila tidak ada flow sheet.

- Bentuk SOAPIER mungkin mengulang pencatatan yang lain apabila perkembangan itu lambat dan sering ada evaluasi

Komponen Metode POR :

1. Data dasar

- Identitas

- Keluhan utama

- Riwayat penyakit

- Riwayat kesehatan

- Pemeriksaan fisik

- Pemeriksaan lab

2. Daftar masalah

Dapat berupa sebuah tanda gehala hasil lab yang abnormal masalah psikologis dll.

3. Rencana

Disesuaikan dengan prioritas masalah

4. Ditatar perkembangan pasien

- Secara berkesinambungan

- Berupa uraian

5. Catatan setelah pulang (Discharge Note)

- Pengobatan yang diberikan

- Kebiasaan perawatan

- Tindakan keperawatan

- Kebiasaan perawatan diri

- Jarang/fasilitas pendukung

- Pola hidup dan dukungan religius

Kelemahan Model naratif :

- Tidak berstruktur, data simpang siur

- Memerlukan banyak waktu

- Terbatas pada kemampuan perawat mengungkapkannya

- Informasi sulit untuk pengendalian mutu

Seorang ibu PP 3 hari yang lalu mengeluh sakit dan berat pada payudara, badan menggigil, bayi belum menyusu. Hasil pemeriksaan TD 110/70 mmHg, S : 38 oC, N : 86 x/mnt, k : 24 x/mnt

· Langkah I

Ibu PP 3 hari

Dt S : mengeluh sakit dan berat pada payudara, badan menggigil, bayi belum menyusu.

Dt O : TD 110/70 mmHg, S : 38 oC, N : 86 x/mnt, R : 23 x/mnt

Px khusus : palpasi payudara

· Langkah II

Ibu PP 3 hari, mastitis, abses -

· Langkah III

Abses payudara, antisipasi : breastcare, kompres hangat, pemberian parasetamol 500 mg, penggunaan BH yang menyangga payudara.

· Langkah IV

Kolaborasi dengan dokter

· Langkah V

  1. Menjelaskan keadaan kesehatan dan akibat mastitis
  2. Menjelaskan cara dan keuntungan breast care
  3. Menjelaskan terapi pada mastitis
  4. Menjelaskan pencegahan masitis
  5. Menjelaskan cara menyusui bayi dengan benar
  6. Membuat perjanjian untuk kunjungan ulang berikut

· Langkah VI

  1. Memantau tanda abses payudara setelah kunjungan.
  2. Kolaborasi dengan dr. obgyn
  3. Berikan kloksasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari
  4. Menjelaskan tindakan yang harus dilakukan
  5. Menjelaskan cara dan keuntungan breat care
  6. Menjelaskan cara mencegah mastitis
  7. Menjelaskan cara menyusui bayi dengan benar
  8. Mendorong ibu untuk terus menyusui bayinya
  9. Merencanakan kunjungan ulang

· Langkah VII

  1. Ibu mendapat pengobatan dari dokter
  2. Ibu dan keluarganya memahami kondisinya
  3. Ibu dan keluarganya memahami tanda/bahaya abses payudara
  4. Ibu dan keluarganya mengetahui cara menyusui bayi dengan benar
  5. Ibu dan keluarganya mengetahui perlunya breast care

* Bu Heni

PRINSIP PENDOKUMENTASIAN KEBIDANAN

A. Proses Penatalaksanaan Kebidanan

Penatalaksanaan kebidanan yaitu proses pemecahan masalah yang digunakan sebagai metode, untuk mengorganisasikan pikiran dan tindakan berdasarkan teori ilmiah, penemuan-penemuan ketrampilan, dalam rangkaian/tahapan yang logis untuk pengambilan keputusan yang berfokus pada klien (Varney, 1997).

Penatalaksanaan kebidanan terdiri beberapa langkah yang berurutan yang dimulai dengan pengumpulan data dasar dan berakhir dengan evaluasi, langkah tersebut membutuhkan kerangka yang lengkap bisa diaplikasikan dalam situasi.

Alur pikir bidan Š Pencatatan Askeb

Œ Œ

Proses manajemen kebidanan Pendokumentasian Askeb

Œ Œ

7 langkah data SOAP NATES

Subjektif

Objektif

Proses tersebut terdiri 7 langkah :

  1. Mengumpulkan semua data yang diperlukan untuk menilai keadaan klien secara keseluruhan.
  2. Menginterpretasikan data untuk identifikasi diagnosa/masalah.
  3. Mengidentifikasikan dx/masalah potensial dan mengantisipasi penanganannya.
  4. Menetapkan kebutuhan klien/terhadap tindakan segera, konsultasi, kolaborasi dengan nakes lain dirujukan.
  5. Menyusun rencana asuhan secara menyeluruh dengan tepat dan rasional. Berdasarkan keputusan yang dibuat pada langkah-langkah sebelumnya.
  6. Mengevaluasi asuhan yang diberikan dengan mengulang kembali pelaksanaan proses untuk aspek-aspek asuhan yang efektif.

Meskipun proses tersebut 7 langkah, namun bersambungan dan berulang ¦ hubungan yang dinamis.

B. Medode Pendok, SOAP

Merupakan intisari dari proses penatalaksanaan kebidanan digunakan dalam dokumen pasien dalam rekam medis sebagai catatan kemajuan.

S : Subjektif, apa yang dikatakan klien

O : Objektif, apa yang dilihat dan dirasakan oleh bidan dalam pelaksanaan

A : Analisa kesimpulan apa yang disebut dari data S dan O

P : Planning apa yang dilakukan berdasarkan hasil evaluasi

WHY disebut sistem pendokumentasian :

  1. Pendokumentasian SOAP merupakan kemajuan informasi yang mengorganisir penemuan dan kesimpulan menjadi suatu rencana asuhan.
  2. Merupakan intisari dari proses penatalaksanaan kebid dengan tujuan menyediaan dan dokumen asuhan.
  3. Merupakan urut-urutan yang dapat membantu mengorganisir pikiran dan memberikan asuhan yang menyeluruh.

SOAP

Adalah catatan sederhana, jelas, logis dan tertulis, antepartum, 1 x SOAP dalam 1 kunjungan intra partum 7 SOAP.

Untuk menggambarkan keterkaitan antar manajemen kebidanan sebagai pola pikir dan pendok sebagai catatan

Alur pikir bidan Š Pencatatan Askeb

Œ Œ

Proses manajemen kebidanan Pendokumentasian Askeb

Œ Œ

7 langkah data SOAP NATES

Subjektif

Objektif

Masalah Dx

Antisipasi masalah pot Assesment

Kebutuhan segera

Implementasi Plan

Evaluasi

Proses penatalaksanaan kebidanan Varney 7 langkah :

Þ Sebagai kerangka pikir bidan dalam proses pemecahan masalah berdasarkan teori ilmiah tahapan yang logis untuk pengambilan keputusan

Mengumpulkan data

Evaluasi Asuhan Interpretasi data

Dx/masalah

Pelaksanaan Asuhan Ident Dx/masalah potensial

Menyusun rencana Menetapkan keb, konsul, kolaborasi asuhan dengan nakes lain

METODE DOKUMENTASI SOAP

S : Apa yang dikatakan klien

O : Apa yang dilihat dan dirasakan oleh bidan saat px

A : Assement/analisa : kesimpulan apa yang dibuat dari data S dan O

P : Plan apa yang dilakukan berdasarkan hasil evaluasi tersebut

Konsul, tes dx rujukan, konseling follow up

Prosedur Pemasangan Infus Intra Vena

TERAPI INTRAVENA

A.Definisi
Terapi intravena adalah tindakan yang dilakukan dengan cara memasukkan cairan, elektrolit, obat intravena dan nutrisi parenteral ke dalam tubuh melalui intravena. Tindakan ini sering merupakan tindakan life saving seperti pada kehilangan cairan yang banyak, dehidrasi dan syok, karena itu keberhasilan terapi dan cara pemberian yang aman diperlukan pengetahuan dasar tentang keseimbangan cairan dan elektrolit serta asam basa. Tindakan ini merupakan metode efektif dan efisien dalam memberikan suplai cairan ke dalam kompartemen intravaskuler. Terapi intravena dilakukan berdasarkan order dokter dan perawat bertanggung jawab dalam pemeliharaan terapi yang dilakukan. Pemilihan pemasangan terapi intravena didasarkan pada beberapa faktor, yaitu tujuan dan lamanya terapi, diagnosa pasien, usia, riwayat kesehatan dan kondisi vena pasien. Apabila pemberian terapi intravena dibutuhkan dan diprogramkan oleh dokter, maka perawat harus mengidentifikasi larutan yang benar, peralatan dan prosedur yang dibutuhkan serta mengatur dan mempertahankan sistem.

B.Tipe-tipe cairan
Cairan/larutan yang digunakan dalam terapi intravena berdasarkan osmolalitasnya dibagi menjadi:
Isotonik
Suatu cairan/larutan yang memiliki osmolalitas sama atau mendekati osmolalitas plasma. Cairan isotonik digunakan untuk mengganti volume ekstrasel, misalnya kelebihan cairan setelah muntah yang berlangsung lama. Cairan ini akan meningkatkan volume ekstraseluler. Satu liter cairan isotonik akan menambah CES 1 liter. Tiga liter cairan isotonik diperlukan untuk mengganti 1 liter darah yang hilang.
Contoh: NaCl 0,9 %
Ringer Laktat
Komponen-komponen darah (Alabumin 5 %, plasma)
Dextrose 5 % dalam air (D5W)

Hipotonik
Suatu cairan/larutan yang memiliki osmolalitas lebih kecil daripada osmolalitas plasma. Tujuan cairan hipotonik adalah untuk menggantikan cairan seluler, dan
menyediakan air bebas untuk ekskresi sampah tubuh. Pemberian cairan ini umumnya menyebabkan dilusi konsentrasi larutan plasma dan mendorong air masuk ke dalam sel untuk memperbaiki keseimbangan di intrasel dan ekstrasel, sel tersebut akan membesar atau membengkak. Perpindahan cairan terjadi dari kompartemen intravaskuler ke dalam sel. Cairan ini dikontraindikasikan untuk pasien dengan risiko peningkatan TIK. Pemberian cairan hipotonik yang berlebihan akan mengakibatkan:
1.Deplesi cairan intravaskuler
2.Penurunan tekanan darah
3.Edema seluler
4.Kerusakan sel
Karena larutan ini dapat menyebabkan komplikasi serius, klien harus dipantau dengan teliti.
Contoh: dextrose 2,5 % dalam NaCl 0,45 %
NaCl 0,45 %
NaCl 0,2 %
Hipertonik
Suatu cairan/larutan yang memiliki osmolalitas lebih tinggi daripada osmolaritas plasma. Pemberian larutan hipertonik yang cepat dapat menyebabkan kelebihan dalam sirkulasi dan dehidrasi. Perpindahan cairan dari sel ke intravaskuler, sehingga menyebabkan sel-selnya mengkerut. Cairan ini dikontraindikasikan untuk pasien dengan penyakit ginjal dan jantung serta pasien dengan dehidrasi.
Contoh: D 5% dalam saline 0,9 %
D 5 % dalam RL
Dextrose 10 % dalam air
Dextrose 20 % dalam air
Albumin 25

Pembagian cairan/larutan berdasarkan tujuan penggunaannya:
Nutrient solution
Berisi karbohidrat ( dekstrose, glukosa, levulosa) dan air. Air untuk menyuplai kebutuhan air, sedangkan karbohidrat untuk kebutuhan kalori dan energi. Larutan ini diindikasikan untuk pencegahan dehidrasi dan ketosis.
Contoh: D5W
Dekstrose 5 % dalam 0,45 % sodium chloride

Electrolyte solution
Berisi elekrolit, kation dan anion. Larutan ini sering digunakan untuk larutan hidrasi, mencegah dehidrasi dan koreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Contoh: Normal Saline (NS)
Larutan ringer (sodium, Cl, potassium dan kalsium)
Ringer Laktat /RL (sodium, Cl, Potassium, Kalsium dan laktat)
Alkalizing solution
Untuk menetralkan asidosis metabolik
Contoh : Ringer Laktat /RL
Acidifying solution
Untuk menetralkan alkalosis metabolik
Contoh : Dekstrose 5 % dalam NaCl 0,45 %
NaCl 0,9 %
Blood volume expanders
Digunakan untuk meningkatkan volume darah karena kehilangan darah/plasma dalam jumlah besar. (misal: hemoragi, luka baker berat)
Contoh : Dekstran
Plasma
Human Serum Albumin

Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:
Kristaloid
Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera.
Contoh: Ringer-Laktat dan garam fisiologis.
Koloid
Ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah.
Contoh: albumin dan steroid.

C.Tujuan
Tujuan terapi intravena adalah:
1.Mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit, vitamin, protein, lemak dan kalori yang tidak dapat dipertahankan melalui oral.
2.Mengoreksi dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit
3.Memperbaiki keseimbangan asam basa
4.Memberikan tranfusi darah
5.Menyediakan medium untuk pemberian obat intravena
6.Membantu pemberian nutrisi parenteral

D.Indikasi
1.Keadaan emergency (misal pada tindakan RJP), yang memungkinkan pemberian obat langsung ke dalam IV
2.Keadaan ingin mendapatkan respon yang cepat terhadap pemberian obat
3.Klien yang mendapat terapi obat dalam dosis besar secara terus-menerus melalui IV
4.Klien yang mendapat terapi obat yang tidak bisa diberikan melalui oral atau intramuskuler
5.Klien yang membutuhkan koreksi/pencegahan gangguan cairan dan elektrolit
6.Klien yang sakit akut atau kronis yang membutuhkan terapi cairan
7.Klien yang mendapatkan tranfusi darah
8.Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat)
9.Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur infus.

E.Kontraindikasi
Infus dikontraindikasikan pada daerah:
1.Daerah yang memiliki tanda-tanda infeksi, infiltrasi atau trombosis
2.Daerah yang berwarna merah, kenyal, bengkak dan hangat saat disentuh
3.Vena di bawah infiltrasi vena sebelumnya atau di bawah area flebitis
4.Vena yang sklerotik atau bertrombus
5.Lengan dengan pirai arteriovena atau fistula
6.Lengan yang mengalami edema, infeksi, bekuan darah, atau kerusakan kulit
7.Lengan pada sisi yang mengalami mastektomi (aliran balik vena terganggu)
8.Lengan yang mengalami luka bakar

F.Macam-Macam Infus
Continous Infusion (Infus berlanjut) mengunakan alat control
Infus ini bisa diberikan secara tradisional melalui cairan yang digantung, dengan atau tanpa pengatur kecepatan aliran. Infus melalui intravena, intra arteri dan intra techal (spinal) dapat dilengkapi dengan menggunakan pompa khusus yang ditanam maupun eksternal.
Keuntungan:
1.Mampu untuk menginfus cairan dalam jumlah besar dan kecil dengan akurat
2.Adanya alarm menandakan adanya masalah seperti adanya udara di selang infus atau adanya penyumbatan
3.Mengurangi waktu perawat untuk memastikan kecepatan aliran infus
Kerugian:
1.Memerlukan selang khusus
2.Biaya lebih mahal
3.Pompa infus akan dilanjutkan untuk menginfus kecuali ada infiltrasi

Syringe pump Infus pump

Intermittent Infusion (Infus sementara)
Infus ini dapat diberikan melalui “heparin lock”, “piggybag” untuk infus yang kontinyu, atau untuk terapi jangka panjang melalui perangkat infus .
Keuntungan :
1.Inkompabilitas dihindari
2.Dosis obat yang lebih besar dapat diberikan dengan konsentrasi permililiter yang lebih rendah daripada yang dipraktikkan dengan metode dorongan IV.

Kerugian :
1.Kecepatan pemberian tidak dikontrol dengan teliti kecuali infus dipantau secara elektronik
2.Volume yang ditambahkan 50-100 ml cairan IV dapat menyebabkan kelebihan cairan pada beberapa pasien

G.Prinsip Gerontologis dan Pediatrik Pemberian Infus
Pediatrik
1.Karena vena klien sangat rapuh, hindari tempat-tempat yang mudah digerakkan atau digeser dan gunakan alat pelindung sesuai kebutuhan (pasang spalk kalau perlu)
2.Pilih aktivitas sesuai usia yang sesuai dengan pemeliharaan infus IV
3.Vena-vena kulit kepala sangat mudah pecah dan memerlukan perlindunga agar tidak mudah mengalami infiltrasi (biasanya digunakan untuk neonatus dan bayi)
4.Selalu memilih tempat penusukan yang akan menimbulkan pembatasan yang minimal
5.Kebanyakan klien pediatrik biasanya menggunakan kateter/jarum ukuran 22 G-24 G
Gerontik
1.Pada klien lansia, sedapat mungkin gunakan kateter/jarum dengan ukuran paling kecil (24-26). Ukuran kecil mengurangi trauma pada vena dan memungkinkan aliran darah lebih lancar sehingga hemodilusi cairan intravena atau obat-obatan akan meningkat.
2.Hindari bagian punggung tangan atau lengan lansia yang dominan untuk tempat pungsi, karena akan mengganggu kemandirian lansia
3.Apabila kulit dan vena lansia rapuh, gunakan tekanan torniket yang minimal
4.Kestabilan vena menjadi hilang dan vena akan bergeser dari jarum (jaringan subkutan lansia hilang). Untuk menstabilkan vena, pasang traksi pada kulit di bawah tempat insersi
5.Penggunaan sudut 5 – 15 ° saat memasukkan jarum akan sangat bermanfaat karena vena lansia lebih superficial
6.Pada lansia yang memiliki kulit yang rapuh, cegah terjadinya perobekan kulit dengan meminimalkan jumlah pemakaian plester.

H.Komplikasi
Komplikasi lokal
1.Flebitis
Inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Kondisi ini dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang memerah dan hangat di sekitar daerah insersi/penusukan atau sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak pada area insersi atau sepanjang vena, dan pembengkakan. Insiden flebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena, komposisi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama pH dan tonisitasnya, ukuran dan tempat kanula dimasukkan, pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme saat penusukan).
Intervensi :
Menghentikan IV dan memasang pada daerah lain
Tinggikan ekstremitas
Memberikan kompres hangat dan basah di tempat yang terkena
Pencegahan :
Gunakan tehnik aseptik selama pemasangan
Menggunakan ukuran kateter dan jarum yang sesuai dengan vena
Mempertimbangkan komposisi cairan dan medikasi ketika memilih area insersi
Mengobservasi tempat insersi akan adanya kemungkinan komplikasi apapun setiap jam
Menempatkan kateter atau jarum dengan baik
Mengencerkan obat-obatan yang mengiritasi jika mungkin
2.Infiltrasi
Infiltrasi terjadi ketika cairan IV memasuki ruang subkutan di sekeliling tempat pungsi vena. Infiltrasi ditunjukkan dengan adanya pembengkakan (akibat peningkatan cairan di jaringan), palor (disebabkan oleh sirkulasi yang menurun) di sekitar area insersi, ketidaknyamanan dan penurunan kecepatan aliran secara nyata. Infiltrasi mudah dikenali jika tempat penusukan lebih besar daripada tempat yang sama di ekstremitas yang berlawanan. Suatu cara yang lebih dipercaya untuk memastikan infiltrasi adalah dengan memasang torniket di atas atau di daerah proksimal dari tempat pemasangan infus dan mengencangkan torniket tersebut secukupnya untuk menghentikan aliran vena. Jika infus tetap menetes meskipun ada obstruksi vena, berarti terjadi infiltrasi.
Intervensi:
Menghentikan infus (infus IV seharusnya dimulai di tempat baru atau proksimal dari infiltrasi jika ekstremitas yang sama digunakan)
Meninggikan ekstremitas klien untuk mengurangi ketidaknyamanan (meningkatkan drainase vena dan membantu mengurangi edema)
Pemberian kompres hangat (meningkatkan sirkulasi dan mengurangi nyeri)
Pencegahan:
Mengobservasi daerah pemasangan infus secara kontinyu
Penggunaan kanula yang sesuai dengan vena
Minta klien untuk melaporkan jika ada nyeri dan bengkak pada area pemasangan infus

3.Iritasi vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri selama diinfus, kemerahan pada kulit di atas area insersi. Iritasi vena bisa terjadi karena cairan dengan pH tinggi, pH rendah atau osmolaritas yang tinggi (misal: phenytoin, vancomycin, eritromycin, dan nafcillin)
Intervensi:
Turunkan aliran infus
Pencegahan:
Encerkan obat sebelum diberikan
Jika terapi obat yang menyebabkan iritasi direncanakan dalam jangka waktu lama, sarankan dokter untuk memasang central IV.
4.Hematoma
Hematoma terjadi sebagai akibat kebocoran darah ke jaringan di sekitar area insersi. Hal ini disebabkan oleh pecahnya dinding vena yang berlawanan selama penusukan vena, jarum keluar vena, dan tekanan yang tidak sesuai yang diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau kateter dilepaskan. Tanda dan gejala hematoma yaitu ekimosis, pembengkakan segera pada tempat penusukan, dan kebocoran darah pada tempat penusukan.
Intervensi:
Melepaskan jarum atau kateter dan memberikan tekanan dengan kasa steril
Memberikan kantong es selama 24 jam ke tempat penusukan dan kemudian memberikan kompres hangat untuk meningkatkan absorpsi darah
Mengkaji tempat penusukan
Memulai lagi uintuk memasang pada ekstremitas lain jika diindikasikan
Pencegahan:
Memasukkan jarum secara hati-hati
Lepaskan torniket segera setelah insersi berhasil
5.Tromboflebitis
Tromboflebitis menggambarkan adanya bekuan ditambah peradangan dalam vena. Karakteristik tromboflebitis adalah adanya nyeri yang terlokalisasi, kemerahan, rasa hangat, dan pembengkakan di sekitar area insersi atau sepanjang vena, imobilisasi ekstremitas karena adanya rasa tidak nyaman dan pembengkakan, kecepatan aliran yang tersendat, demam, malaise, dan leukositosis.
Intervensi:
Menghentikan IV
Memberikan kompres hangat
Meninggikan ekstremitas
Memulai jalur IV di ekstremitas yang berlawanan
Pencegahan:
Menghindarkan trauma pada vena pada saat IV dimasukkan
Mengobservasi area insersi tiap jam
Mengecek tambahan pengobatan untuk kompabilitas
6.Trombosis
Trombosis ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak pada vena, dan aliran infus berhenti. Trombosis disebabkan oleh injuri sel endotel dinding vena, pelekatan platelet.
Intervensi:
Menghentikan IV
Memberikan kompres hangat
Perhatikan terapi IV yang diberikan (terutama yang berhubungan dengan infeksi, karena thrombus akan memberikan lingkungan yang istimewa/baik untuk pertumbuhan bakteri)
Pencegahan:
Menggunakan tehnik yang tepat untuk mengurangi injuri pada vena
7.Occlusion
Occlusion ditandai dengan tidak adanya penambahan aliran ketika botol dinaikkan, aliran balik darah di selang infus, dan tidak nyaman pada area pemasangan/insersi. Occlusion disebabkan oleh gangguan aliran IV, aliran balik darah ketika pasien berjalan, dan selang diklem terlalu lama.
Intervensi:
Bilas dengan injeksi cairan, jangan dipaksa jika tidak sukses
Pencegahan:
Pemeliharaan aliran IV
Minta pasien untuk menekuk sikunya ketika berjalan (mengurangi risiko aliran darah balik)
Lakukan pembilasan segera setelah pemberian obat
8.Spasme vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri sepanjang vena, kulit pucat di sekitar vena, aliran berhenti meskipun klem sudah dibuka maksimal. Spasme vena bisa disebabkan oleh pemberian darah atau cairan yang dingin, iritasi vena oleh obat atau cairan yang mudah mengiritasi vena dan aliran yang terlalu cepat.
Intervensi:
Berikan kompres hangat di sekitar area insersi
Turunkan kecepatan aliran
Pencegahan:
Apabila akan memasukkan darah (missal PRC), buat hangat terlebih dahuilu.
9.Reaksi vasovagal
Kondisi ini digambarkan dengan klien tiba-tiba terjadi kollaps pada vena, dingin, berkeringat, pingsan, pusing, mual dan penurunan tekanan darah.. Reaksi vasovagal bisa disebabkan oleh nyeri atau kecemasan

Intervensi:
Turunkan kepala tempat tidur
Anjurkan klien untuk nafas dalam
Cek tanda-tanda vital (vital sign)
Pencegahan:
Siapkan klien ketika akan mendapatkan terapi, sehingga bisa mengurangi kecemasan yang dialami
Gunakan anestesi lokal untuk mengurangi nyeri (untuk klien yang tidak tahan terhadap nyeri)
10.Kerusakan syaraf, tendon dan ligament
Kondisi ini ditandai oleh nyeri ekstrem, kebas/mati rasa, dan kontraksi otot. Efek lambat yang bisa muncul adalah paralysis, mati rasa dan deformitas. Kondisi ini disebabkan oleh tehnik pemasangan yang tidak tepat sehingga menimbulkan injuri di sekitar syaraf, tendon dan ligament.
Intervensi:
Hentikan pemasangan infus
Pencegahan:
Hindarkan pengulangan insersi pada tempat yang sama
Hindarkan memberikan penekanan yang berlebihan ketika mencari lokasi vena

Komplikasi sistemik
1.Septikemia/bakteremia
Adanya susbtansi pirogenik baik dalam larutan infus atau alat pemberian dapat mencetuskan reaksi demam dan septikemia. Perawat dapat melihat kenaikan suhu tubuh secara mendadak segera setelah infus dimulai, sakit punggung, sakit kepala, peningkatan nadi dan frekuensi pernafasan, mual dan muntah, diare, demam dan menggigil, malaise umum, dan jika parah bisa terjadi kollaps vaskuler. Penyebab septikemi adalah kontaminasi pada produk IV, kelalaian tehnik aseptik. Septikemi terutama terjadi pada klien yang mengalami penurunan imun.
Intervensi:
Monitor tanda vital
Lakukan kultur kateter IV, selang atau larutan yang dicurigai.
Berikan medikasi jika diresepkan
Pencegahan:
Gunakan tehnik steril pada saat pemasangan
Gantilah tempat insersi, dan cairan, sesuai ketentuan yang berlaku
2.Reaksi alergi
Kondisi ini ditandai dengan gatal, hidung dan mata berair, bronkospasme, wheezing, urtikaria, edema pada area insersi, reaksi anafilaktik (kemerahan, cemas, dingin, gatal, palpitasi, paresthesia, wheezing, kejang dan kardiak arrest). Kondisi ini bisa disebabkan oleh allergen, misal karena medikasi.
Intervensi :
Jika reaksi terjadi, segera hentikan infus
Pelihara jalan nafas
Berikan antihistamin steroid, antiinflamatori dan antipiretik jika diresepkan
Jika diresepkan berikan epinefrin
Jika diresepkan berikan kortison
Pencegahan:
Monitor pasien setiap 15 menit setelah mendapat terapi obat baru
Kaji riwayat alergi klien
3.Overload sirkulasi
Membebani sistem sirkulasi dengan cairan intravena yang berlebihan akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan tekanan vena sentral, dipsnea berat, dan sianosis. Tanda dan gejala tambahan termasuk batuk dan kelopak mata yang membengkak. Penyebab yang mungkin termasuk adalah infus larutan IV yang terlalu cepat atau penyakit hati, jantung dan ginjal. Hal ini juga mungkin bisa terjadi pada pasien dengan gangguan jantung yang disebut denga kelebihan beban sirkulasi.
Intervensi:
Tinggikan kepala tempat tidur
Pantau tanda-tanda vital setiap 30 menit sampai 1 jam sekali
Jika diperlukan berikan oksigen
Mengkaji bunyi nafas
Jika diresepkan berikan furosemid
Pencegahan:
Sering memantau tanda-tanda vital
Menggunakan pompa IV untuk menginfus
Melakukan pemantauan secara cermat terhadap semua infus
4.Embolisme udara
Emboli udara paling sering berkaitan dengan kanulasi vena-vena sentral. Manifestasi klinis emboli udara adalah dipsnea dan sianosis, hipotensi, nadi yang lemah dan cepat, hilangnya kesadaran, nyeri dada, bahu, dan punggung bawah.
Intervensi :
Klem atau hentikan infus
Membaringkan pasien miring ke kiri dalaam posisi Trendelenburg
Mengkaji tanda-tanda vital dan bunyi nafas
Memberikan oksigen
Pencegahan:
Pastikan sepanjang selang IV telah bebas dari udara, baru memulai menyambungkan infus
Pastikan semua konektor tersambung dengan baik

I.Cara Pemilihan Daerah Infus
Banyak tempat bisa digunakan untuk terapi intravena, tetapi kemudahan akses dan potensi bahaya berbeda di antara tempat-tempat ini. Pertimbangan perawat dalam memilih vena adalah sebagai berikut:
Usia klien (usia dewasa biasanya menggunakan vena di lengan, sedangkan infant biasanya menggunakan vena di kepala dan kaki)
Lamanya pemasangan infus (terapi jangka panjang memerlukan pengukuran untuk memelihara vena)
Type larutan yang akan diberikan
Kondisi vena klien
Kontraindikasi vena-vena tertentu yang tidak boleh dipungsi
Aktivitas pasien (misal bergerak, tidak bergerak, perubahan tingkat kesadaran, gelisah)
Terapi IV sebelumnya (flebitis sebelumnya membuat vena menjadi tidak baik untuk digunakan)
Tempat insersi/pungsi vena yang umum digunakan adalah tangan dan lengan. Namun vena-vena superfisial di kaki dapat digunakan jika klien dalam kondisi tidak memungkinkan dipasang di daerah tangan. Apabila memungkinkan, semua klien sebaiknya menggunakan ekstremitas yang tidak dominan.
Berikut ini adalah gambar tempat yang bisa dipasang infus:

Panduan singkat pemilihan vena:
Gunakan vena distal lengan untuk pilihan pertama
Jika memungkinkan pilih lengan non dominan
Pilih vena-vena di atas area fleksi
Gunakan vena kaki jika vena lengan tidak dapat diakses
Pilih vena yang mudah diraba, vena yang besar dan yang memungkinkan aliran cairan adequat
Pastikan bahwa lokasi yang dipilih tidak akan mengganggu aktivitas sehari-hari pasien
Pilih lokasi yang tidak mempengaruhi pembedahan atau prosedur-prosedur yang direncanakan
Tips untuk vena yang sulit:
Pasien gemuk, tidak dapat mempalpasi atau melihat vena--------buat citra visual dari anatomi vena, pilih kateter yang lebih panjang
Kulit dan vena mudah pecah, infiltrasi terjadi setelah penusukan------gunakan tekanan torniket yang minimal
Vena bergerak ketika ditusuk-----fiksasi vena menggunakan ibu jari ketika melakukan penusukan
Pasien dalam keadaan syok atau mempunyai aliran balik vena minimal----biarkan torniket terpasang untuk meningkatkan distensi vena, gunakan kateter no. 18 atau 16.

Hindari menggunakan vena berikut:
Vena pada area fleksi (misal:fossa ante cubiti)
Vena yang rusak karena insersi sebelumnya (misal karena flebitis, infiltrasi atau sklerosis)
Vena yang nyeri palpasi
Vena yang tidak stabil, mudah bergerak ketika jarum dimasukkan
Vena yang mudah pecah
Vena yang berbelok-belok
Vena dorsal yang rapuh pada klien lansia dan pembuluh darah pada ekstremitas dengan gangguan sirkulasi (misal pada mastektomi, graft dialysis atau paralysis)

Cara memunculkan vena:
Mengurut ekstremitas dari distal ke proksimal di bawah tempat pungsi vena yang dituju
Minta klien menggenggam dan membuka genggaman secara bergantian
Ketuk ringan di atas vena
Gunakan torniket sedikitnya 5-15 cm di atas tempat yang akan diinsersi, kencangkan torniket
Berikan kompres hangat pada ekstremitas selama beberapa menit (misal dengan waslap hangat)

J.Cara Penghitungan Cairan Infus
Mengatur ketepatan aliran dan regulasi infus adalah tanggung jawab perawat. Masalah yang dapat muncul apabila perawat tidak memperhatikan regulasi infus adalah hipervolemia dan hipovolemia. Dalam menentukan tetesan infus, perawat perlu memperhatikan faktor tetesan yang akan digunakan. Faktor tetesan yang sering digunakan adalah:
Mikrodrips (tetes mikro) : 60 tetes/ml (infuset mikro)
Makrodrips (tetes makro) : 10 tetes/ml, 15 tetes/ml, 20 tetes/ml (infuset regular/makro)
Untuk mengatur tetesan infus, perawat harus mengetahui volume cairan yang akan dimasukkan dan waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan cairan infus. Penghitungan cairan yang sering digunakan adalah penghitungan millimeter perjam (ml/h) dan penghitungan tetes permenit.
Millimeter per jam


Contoh: 3000 ml diinfuskan dalam 24 jam, maka jumlah milliliter perjamnya adalah sebagai berikut:
3000 / 24 = 125 ml/h
Tetes per menit

Contoh: 1000 ml dalam 8 jam, faktor tetesan 20
1000 x 20 / 8 x 60 = 41 tpm (tetes per menit)

Faktor yang mempengaruhi tetesan infus:
Posisi lengan
Posisi lengan klien terkadang bisa menurunkan aliran infus. Sedikit pronasi, supinasi, ekstensi atau elevasi lengan dengan bantal dapat meningkatkan aliran.
Posisi dan kepatenan selang infus (aliran berbanding langsung dengan diameter selang)
Aliran akan lebih cepat melalui kanula dengan diameter besar, berlawanan dengan kanul kecil.
Posisi botol infus
Menaikkan ketinggian wadah infus dapat memperbaiki aliran yang tersendat-sendat (aliran berbanding langsung dengan ketinggian bejana cairan).
Larutan/cairan yang dialirkan (aliran berbanding terbalik dengan viskositas cairan)
Larutan intravena yang kental, seperti darah, membutuhkan kanula yang lebih besar dibandingkan dengan air atau larutan salin.
Panjang selang (aliran berbanding terbalik dengan panjang selang)
Menambah panjang selang pada jalur IV akan menurunkan aliran.

K.Hal-hal yang perlu diperhatikan
Sebelum pemberian obat
1.Pastikan bahwa obat sesuai dengan anjuran
2.Periksa larutan/cairan sebelum dimasukkan (masa kadaluarsa, keutuhan botol, ada bagian yang bocor atau tidak)
3.Hindarkan memasang infus pada daerah-daerah yang infeksi, vena yang telah rusak, vena pada daerah fleksi dan vena yang tidak stabil
4.Gunakan jarum sesuai dengan kondisi vena klien
5.Larutkan obat sesuai indikasi, banyak obat yang dapat mengiritasi vena dan memerlukan pengenceran yang sesuai
6.Pastikan kecepatan pemberiannya dengan benar
7.Jika akan memberikan obat melalui selang infus yang sama, akan lebih baik jika dibilas terlebih dulu dengan cairan fisiologis (misal NaCl)
8.Kaji kondisi pasien dan toleransinya terhadap obat yang diberikan
9.Kaji kepatenan jalan infus
10.Perhatikan waktu pemasangan infus, ganti tempat pemasangan jika ada tanda-tanda infeksi
Respon pasien terhadap obat
1.Adakah efek mayor yang timbul (anafilaksis, respiratori distress, takikardia, bradikardi, kejang)
2.Adakah efek samping minor (mual, pucat, kulit kemerahan atau bingung)

L.Pemeliharaan infus
Periksa area insersi
Periksa seluruh system IV (jumlah cairan, kecepatan aliran, integritas jalur, posisi jalur halus, kondisi area insersi, kondisi proksimal vena sampai area insersi)
Kaji adanya komplikasi terapi IV
Kaji respon klien terhadap terapi
Lakukan perawatan pada daerah insersi (sesuai kebijakan institusi)

M.Persiapan Pasien
Jelaskan pada pasien tentang prosedur yang akan dilakukan (meliputi proses pungsi vena, informasi tentang lamanya infus dan pembatasan aktivitas)
Jika pasien akan menggunakan anestesi lokal pada area insersi, tanyakan adanya alergi terhadap anestesi yang digunakan
Jika pasien tidak menggunakan anestesi, jelaskan bahwa nanti akan muncul nyeri ketika jarum dimasukkan, tapi akan hilang ketika kateter sudah masuk.
Jelaskan bahwa cairan yang masuk awalnya akan terasa dingin, tapi sensasi itu hanya akan terasa pada beberapa menit saja.
Jelaskan pada pasien bahwa jika ada keluhan/ketidaknyamanan selama pemasangan, supaya menghubungi perawat.

N.Persiapan Alat
Larutan yang benar
Jarum yang sesuai (abbocath, wing needle/butterfly)
Set infus
Selang intravena
Alkohol dan swab pembersih yodium—povidon
Torniket
Sarung tangan sekali pakai
Kasa atau balutan trasparan dan larutan atau salep yodium—povidon
Plester
Handuk/pengalas tangan
Tiang penyangga IV
Bengkok (tempat pembuangan jarum)
Gunting

Contoh jarum infus/abbocath:
ONC (over the needle cannula)
Tujuan : terapi jangka panjang untuk pasien agitasi atau pasien yang aktif
Manfaat : lebih nyaman bagi klien, ada tempat untuk mengecek aliran darah balik, kerusakan pada vena lebih kecil.
Kerugian : lebih sulit dimasukkan daripada alat lain

Through the needle cannula
Tujuan : terapi jangka panjang untuk pasien agitasi atau pasien yang aktif
Manfaat : kerusakan pada vena lebih kecil, lebih nyaman bagi klien, tersedia dalam berbagai ukuran panjang.
Kerugian : biasanya untuk pasien lansia, menimbulkan kebocoran.

Wing needle:
Tujuan : terapi jangka pendek untuk pasien yang kooperatif, terapi untuk neonatus, anak atau lansia dengan vena yang fragile dan sklerotik
Manfaat : meminimalkan nyeri ketika insersi, ideal untuk memasukkan obat
Kerugian : mudah menimbulakan infiltrasi , jika wing needle kaku yang digunakan

Contoh ukuran jarum:
nomor 16------bedah mayor atau trauma
nomor 18------darah dan produk darah, pemberian obat-obat yang kental
nomor 20------digunakan pada kebanyakan pasien
nomor 22------digunakan pada kebanyakan pasien, terutama anak-anak dan orangtua
nomor 24------pasien pediatric atau neonatus
Semakin besar ukuran, semakin kecil caliber kateter.

O.Prosedur Kerja Pungsi/Pemasangan Infus
1.Baca status dan data klien untuk memastikan program terapi IV
2.Cek alat-alat yang akan digunakan
3.Cuci tangan
4.Beri salam dan panggil klien sesuai dengan namanya
5.Perkenalkan nama perawat
6.Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada klien
7.Jelaskan tujuan tindakan yang dilakukan
8.Beri kesempatan pada klien untuk bertanya
9.Tanyakan keluhan klien saat ini
10.Jaga privasi klien
11.Dekatkan alat-alat ke sisi tempat tidur klien
12.Tinggikan tempat tidur sampai ketingian kerja yang nyaman
13.Letakkan klien dalam posisi semifowler atau supine jika tidak memungkinkan (buat klien senyaman mungkin)
14.Buka kemasan steril dengan meanggunakan tehnik steril
15.Periksa larutan dengan menggunakan lima benar dalam pemberian obat
16.Buka set infus, pertahankan sterilitas kedua ujungnya
17.Letakkan klem yang dapat digeser tepat di bawah ruang drip dan gerakkan klem pada posisi off
18.Lepaskan pembungkus lubang slang IV pada kantung larutan IV plastik tanpa menyentuh ujung tempat masuknya alat set infuse
19.Tusukkan set infus ke dalam kantong atau botol cairan (untuk kantong, lepaskan penutup protektor dari jarum insersi selang, jangan menyentuh jarumnya, dan tusukkan jarum ke lubang kantong IV. Untuk botol, bersihkan stopper pada botol dengan menggunakan antiseptik dan tusukkan jarum ke karet hitam stopper botol IV.
20.Gantungkan botol infus yang telah dihubungkan dengan set infus pada tempat yang telah disediakan (pertahankan kesterilan set infus)
21.Isi selang infus dengan cairan, pastikan tidak ada udara dalam selang (terlebih dulu lakukan pengisian pada ruang tetesan/the drip chamber). Setelah selang terisi, klem dioffkan dan penutup ujung selang infus ditutup
22.Beri label pada IV dengan nama pasien, obat tambahan, kecepatan pemberian.
23.Pasang perlak kecil/pengalas di bawah lengan/tangan yang akan diinsersi
24.Kenakan sarung tangan sekali pakai
25.Identifikasi aksesibilitas vena untuk pemasangan kateter IV atau jarum
26.Posisikan tangan yang akan diinsersi lebih rendah dari jantung, pasang torniket mengitari lengan, di atas fossa antekubital atau 10-15 cm di atas tempat insersi yang dipilih (jangan memasang torniket terlalu keras untuk menghindari adanya cidera atau memar pada kulit). Pastikan torniket bisa menghambat aliran IV. Periksa nadi distal.
27.Pilih vena yang berdilatasi baik, dimulai dari bagian distal, minta klien untuk mengepal dan membuka tangan (apabila belum menemukan vena yang cocok, lepaskan dulu torniket, dan ulangi lagi setelah beberapa menit).
28.Bersihkan tempat insersi dengan kuat, terkonsentrasi, dengan gerakan sirkuler dari tempat insersi ke daerah luar dengan larutan yodium—povidon, biarkan sampai kering. (klien yang alergi terhadap yodium, gunakan alkohol 70 % selama 30 detik)
29.Lakukan pungsi vena, fiksasi vena dengan menempatkan ibu jari tangan yang tidak memegang alat infus di atas vena dengan cara meregangkan kulit. Lakukan penusukan dengan sudut 20-30°, tusuk perlahan dengan pasti
30.Jika tampak aliran darah balik, mengindikasikan jarum telah masuk vena.
31.Rendahkan posisi jarum sejajar kulit dan tarik jarum sedikit lalu teruskan plastik IV kateter ke dalam vena
32.Stabilkan kateter IV dengan satu tangan dan lepaskan torniket dengan tangan yang lain
33.Tekan dengan jari ujung plastik IV karteter, lalu tarik jarum infus keluar
34.Sambungkan plastic IV kateter dengan ujung selang infus dengan gerakan cepat, jangan menyentuh titik masuk selang infus
35.Buka klem untuk memulai aliran infus sampai cairan mengalir lancar
36.Fiksasi sambungan kateter infus (apabila sekitar area insersi kotor, bersihkan terlebih dulu)
37.Oleskan dengan salep betadin di atas area penusukan, kemudian tutup dengan kasa steril, pasang plester
38.Atur tetesan infus sesuai ketentuan
39.Beri label pada temapt pungsi vena dengan tanggal, ukuran kateter, panjang kateter, dan inisial perawat.
40.Buang sarung tangan dan persediaan yang digunakan
41.Cuci tangan
42.Berikan reinforcement positif
43.Buat kontrak pertemuan selanjutnya
44.Akhiri kegiatan dengan baik
45.Observasi klien setiap jam untuk menentukan respon terhadap terapi cairan (jumlah cairan benar sesuai program yang ditetapkan, kecepatan aliran benar, kepatenan vena, tidak terdapat infiltrasi, flebitis atau inflamasi)
46.Dokumentasikan di catatan perawatan (tipe cairan, tempat insersi, kecepatanaliran, ukuran dan tipe kateter atau jarum, waktu infus dimulai, respon terhadap cairan IV, jumlah yang diinfuskan, integritas serta kepatenan sistem IV.

Daftar Pustaka

Potter dan Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik. Vol 2. Jakarta: EGC
Rocca, et.al. 1998. Seri Pedoman Praktis: Terapi Intravena. Edisi 2. Jakarta: EGC
Kozier, et al. 1995. Fundamental Of Nursing: Concepts, process and practice 5th edition. California : Addison- Wesley
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2001. Penatalaksanaan Pasien Di Intensif Care Unit. Jakarta: Sagung Seto
Hudak, et.,al. 1997. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Vol. 1. Jakarta: EGC
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 1. Jakarta: EGC
Laboratorium Ketrampilan Keperawatan PSIK FK UGM. 2002. SKILLS LAB: Pendidikan Ketrampilan Keperawatan. Yogyakarta: PSIK FK UGM
Baranoski, S., et.al.2004. Nursing Prosedures. 4th edition. USA: Lippincoth William & Wilkins
Potter & Perry. 2005. Buku Saku: Ketrampilan & Prosedur Dasar. Edisi 5. Jakarta: EGC
Price, et.al. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC
Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius FK UI
Nurachmah, dkk. 2000. Buku Saku: Prosedur Keperawata Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Weinstein, S. 2001. Buku Saku: Terapi Intravena. Edisi 2. Jakarta: EGC
Hidayat, A, dkk. 2005. Buku Saku: Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC
Swearingen, P. et al. 2001. Seri Pedoman Praktis: Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Asam Basa. Edisi 2. Jakarta: EGC

Selasa, 10 Februari 2009

askep lg - askep lg

PENGERTIAN

Diagnosis Keperawatan merupakan keputusan klinik tentang respon individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan aktual atau potensial, dimana berdasarkan pendidikan dan pengalamannya, perawat secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga, menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah status kesehatan klien (Carpenito, 2000; Gordon, 1976 & NANDA).

Diagnosis keperawatan ditetapkan berdasarkan analisis dan interpretasi data yang diperoleh dari pengkajian keperawatan klien. Diagnosis keperawatan memberikan gambaran tentang masalah atau status kesehatan klien yang nyata (aktual) dan kemungkinan akan terjadi, dimana pemecahannya dapat dilakukan dalam batas wewenang perawat.

KOMPONEN DIAGNOSIS KEPERAWATAN

Rumusan diagnosis keperawatan mengandung tiga komponen utama, yaitu :

1. Problem (P/masalah), merupakan gambaran keadaan klien dimana tindakan keperawatan dapat diberikan. Masalah adalah kesenjangan atau penyimpangan dari keadaan normal yang seharusnya tidak terjadi.

Tujuan : menjelaskan status kesehatan klien atau masalah kesehatan klien secara jelas dan sesingkat mungkin. Diagnosis keperawatan disusun dengan menggunakan standart yang telah disepakati (NANDA, Doengoes, Carpenito, Gordon, dll), supaya :

  1. Perawat dapat berkomunikasi dengan istilah yang dimengerti secara umum
  2. Memfasilitasi dan mengakses diagnosa keperawatan
  3. Sebagai metode untuk mengidentifikasi perbedaan masalah keperawatan dengan masalah medis
  4. Meningkatkan kerjasama perawat dalam mendefinisikan diagnosis dari data pengkajian dan intervensi keperawatan, sehingga dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan.

2. Etiologi (E/penyebab), keadaan ini menunjukkan penyebab keadaan atau masalah kesehatan yang memberikan arah terhadap terapi keperawatan. Penyebabnya meliputi : perilaku, lingkungan, interaksi antara perilaku dan lingkungan.

Unsur-unsur dalam identifikasi etiologi :

  1. Patofisiologi penyakit : adalah semua proses penyakit, akut atau kronis yang dapat menyebabkan / mendukung masalah.
  2. Situasional : personal dan lingkungan (kurang pengetahuan, isolasi sosial, dll)
  3. Medikasi (berhubungan dengan program pengobatan/perawatan) : keterbatasan institusi atau rumah sakit, sehingga tidak mampu memberikan perawatan.
  4. Maturasional :

Adolesent : ketergantungan dalam kelompok

Young Adult : menikah, hamil, menjadi orang tua

Dewasa : tekanan karier, tanda-tanda pubertas.

3. Sign & symptom (S/tanda & gejala), adalah ciri, tanda atau gejala, yang merupakan informasi yang diperlukan untuk merumuskan diagnosis keperawatan.

Jadi rumus diagnosis keperawatan adalah : PE / PES.

PERSYARATAN PENYUSUNAN DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1. Perumusan harus jelas dan singkat dari respon klien terhadap situasi atau keadaan yang dihadapi

2. Spesifi dan akurat (pasti)

3. Dapat merupakan pernyataan dari penyebab

4. Memberikan arahan pada asuhan keperawatan

5. Dapat dilaksanakan oleh perawat

6. Mencerminan keadaan kesehatan klien.

HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM MENENTUKAN DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1. Berorientasi kepada klien, keluarga dan masyarakat

2. Bersifat aktual atau potensial

3. Dapat diatasi dengan intervensi keperawatan

4. Menyatakan masalah kesehatan individu, keluarga dan masyarakat, serta faktor-faktor penyebab timbulnya masalah tersebut.

ALASAN PENULISAN DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif

2. Memberikan kesatuan bahasa dalam profesi keperawatan

3. Meningkatkan komunikasi antar sejawat dan profesi kesehatan lainnya

4. Membantu merumuskan hasil yang diharapkan / tujuan yang tepat dalam menjamin mutu asuhan keperawatan, sehingga pemilihan intervensi lebih akurat dan menjadi pedoman dalam melakukan evaluasi

5. Menciptakan standar praktik keperawatan

6. Memberikan dasar peningkatan kualitas pelayanan keperawatan.

PROSES PENYUSUNAN DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1. Klasifikasi & Analisis Data

Pengelompokkan data adalah mengelompokkan data-data klien atau keadaan tertentu dimana klien mengalami permasalahan kesehatan atau keperawatan berdasarkan kriteria permasalahannya. Pengelmpkkan data dapat disusun berdasarkan pola respon manusia (taksonomi NANDA) dan/atau pola fungsi kesehatan (Gordon, 1982);

Respon Manusia (Taksonomi NANDA II) :

  1. Pertukaran
  2. Komunikasi
  3. Berhubungan
  4. Nilai-nilai
  5. Pilihan
  6. Bergerak
  7. Penafsiran
  8. Pengetahuan
  9. Perasaan

Pola Fungsi Kesehatan (Gordon, 1982) :

  1. Persepsi kesehatan : pola penatalaksanaan kesehatan
  2. Nutrisi : pola metabolisme
  3. Pola eliminasi
  4. Aktivitas : pola latihan
  5. Tidur : pola istirahat
  6. Kognitif : pola perseptual
  7. Persepsi diri : pola konsep diri
  8. Peran : pola hubungan
  9. Seksualitas : pola reproduktif
  10. Koping : pola toleransi stress
  11. Nilai : pola keyakinan

2. Mengindentifikasi masalah klien

Masalah klien merupakan keadaan atau situasi dimana klien perlu bantuan untuk mempertahankan atau meningkatkan status kesehatannya, atau meninggal dengan damai, yang dapat dilakukan oleh perawat sesuai dengan kemampuan dan wewenang yang dimilikinya

Identifikasi masalah klien dibagi menjadi : pasien tidak bermasalah, pasien yang kemungkinan mempunyai masalah, pasien yang mempunyai masalah potensial sehingga kemungkinan besar mempunyai masalah dan pasien yang mempunyai masalah aktual.

  1. Menentukan kelebihan klien

Apabila klien memenuhi standar kriteria kesehatan, perawat kemudian menyimpulkan bahwa klien memiliki kelebihan dalam hal tertentu. Kelebihan tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan atau membantu memecahkan masalah yang klien hadapi.

  1. Menentukan masalah klien

Jika klien tidak memenuhi standar kriteria, maka klien tersebut mengalami keterbatasan dalam aspek kesehatannya dan memerlukan pertolongan.

  1. Menentukan masalah yang pernah dialami oleh klien

Pada tahap ini, penting untuk menentukan masalah potensial klien. Misalnya ditemukan adanya tanda-tanda infeksi pada luka klien, tetapi dari hasil test laboratorium, tidak menunjukkan adanya suatu kelainan. Sesuai dengan teori, maka akan timbul adanya infeksi. Perawat kemudian menyimpulkan bahwa daya tahan tubuh klien tidak mampu melawan infeksi.

  1. Penentuan keputusan

- Tidak ada masalah, tetapi perlu peningkatan status dan fungsi (kesejahteraan) : tidak ada indikasi respon keperawatan, meningkatnya status kesehatan dan kebiasaan, serta danya inisiatif promosi kesehatan untuk memastikan ada atau tidaknya masalah yang diduga.

- Masalah kemungkinan (possible problem) : pola mengumpulkan data yang lengkap untuk memastikan ada atau tidaknya masalah yang diduga

- Masalah aktual, resiko, atau sindrom : tidak mampu merawat karena klien menolak masalah dan pengobatan, mulai untuk mendesain perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi untuk mencegah, menurunkan, atau menyelesaikan masalah.

- Masalah kolaboratif : konsultasikan dengan tenaga kesehatan profesional yang ompeten dan bekerja secara kolaboratif pada masalah tersebut. Masalah kolaboratif adalah komplikasi fisiologis yang diakibatkan dari patofisiologi, berhubungan dengan pengobatan dan situasi yang lain. Tugas perawat adalah memonitor, untuk mendeteksi status klien dan kolaboratif dengan tenaga medis guna pengobatan yang tepat.

3. Memvalidasi diagnosis keperawatan

Adalah menghubungkan dengan klasifikasi gejala dan tanda-tanda yang kemudian merujuk kepada kelengkapan dan ketepatan data. Untuk kelengkapan dan ketepatan data, kerja sama dengan klien sangat penting untuk saling percaya, sehingga mendapatkan data yang tepat.

Pada tahap ini, perawat memvalidasi data yang ada secara akurat, yang dilakukan bersama klien/keluarga dan/atau masyarakat. Validasi tersebut dilaksanakan dengan mengajukan pertanyaan atau pernyataan yang reflektif kepada klien/keluarga tentang kejelasan interpretasi data. Begitu diagnosis keperawatan disusun, maka harus dilakukan validasi.

4. Menyusun diagnosis keperawatan sesuai dengan prioritasnya

Setelah perawat mengelompokkan, mengidentifikasi, dan memvalidasi data-data yang signifikan, maka tugas perawat pada tahap ini adalah merumuskan suatu diagnosis keperawatan. Diagnosa keperawatan dapat bersifat aktual, resiko, sindrom, kemungkinan dan wellness.

Menyusun diagnosis keperawatan hendaknya diurutkan menurut kebutuhan yang berlandaskabn hirarki Maslow (kecuali untuk kasus kegawat daruratan — menggunakan prioritas berdasarkan “yang mengancam jiwa”) :

  1. Berdasarkan Hirarki Maslow : fisiologis, aman-nyaman-keselamatan, mencintai dan memiliki, harga diri dan aktualisasi diri
  2. Griffith-Kenney Christensen : ancaman kehidupan dan kesehatan, sumber daya dan dana yang tersedia, peran serta klien, dan prinsip ilmiah dan praktik keperawatan.

KATEGORI DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1. Diagnosis Keperawatan Aktual

Diagnosis keperawatan aktual (NANDA) adalah diagnosis yang menyajikan keadaan klinis yang telah divalidasikan melalui batasan karakteristik mayor yang diidentifikasi. Diagnosis keperawatan mempunyai empat komponen : label, definisi, batasan karakteristik, dan faktor yang berhubungan.

Label merupakan deskripsi tentang definisi diagnosis dan batasan karakteristik. Definisi menekankan pada kejelasan, arti yang tepat untuk diagnosa. Batasan karakteristik adalah karakteristik yang mengacu pada petunjuk klinis, tanda subjektif dan objektif. Batasan ini juga mengacu pada gejala yang ada dalam kelompok dan mengacu pada diagnosis keperawatan, yang teridiri dari batasan mayor dan minor. Faktor yang berhubungan merupakan etiologi atau faktor penunjang. Faktor ini dapat mempengaruhi perubahan status kesehatan. Faktor yang berhubungan terdiri dari empat komponen : patofisiologi, tindakan yang berhubungan, situasional, dan maturasional.

Contoh diagnosis keperawatan aktual : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan transport oksigen, sekunder terhadap tirah baring lama, ditandai dengan nafas pendek, frekuensi nafas 30 x/mnt, nadi 62/mnt-lemah, pucat, sianosis.

2. Diagnosis Keperawatan Resiko

Diagnosis keperawatan resiko adalah keputusan klinis tentang individu, keluarga atau komunitas yang sangat rentan untuk mengalami masalah dibanding individu atau kelompok lain pada situasi yang sama atau hampir sama.

Validasi untuk menunjang diagnosis resiko adalah faktor resiko yang memperlihatkan keadaan dimana kerentanan meningkat terhadap klien atau kelompok dan tidak menggunakan batasan karakteristik. Penulisan rumusan diagnosis ini adalag : PE (problem & etiologi).

Contoh : Resiko penularan TB paru berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang resiko penularan TB Paru, ditandai dengan keluarga klien sering menanyakan penyakit klien itu apa dan tidak ada upaya dari keluarga untuk menghindari resiko penularan (membiarkan klien batuk dihadapannya tanpa menutup mulut dan hidung).

3. Diagnosis Keperawatan Kemungkinan

Merupakan pernyataan tentang masalah yang diduga masih memerlukan data tambahan dengan harapan masih diperlukan untuk memastikan adanya tanda dan gejala utama adanya faktor resiko.

Contoh : Kemungkinan gangguan konsep diri : gambaran diri berhubungan dengan tindakan mastektomi.

4. Diagnosis Keperawatan Sejahtera

Diagnosis keperawatan sejahtera adalah ketentuan klinis mengenai individu, kelompok, atau masyarakat dalam transisi dari tingkat kesehatan khusus ke tingkat kesehatan yang lebih baik. Cara pembuatan diagnsosis ini adalah dengan menggabungkan pernyataan fungsi positif dalam masing-masing pola kesehatan fungsional sebagai alat pengkajian yang disahkan. Dalam menentukan diagnosis keperawatan sejahtera, menunjukkan terjadinya peningkatan fungsi kesehatan menjadi fungsi yang positif.

Sebagai contoh, pasangan muda yang kemudian menjadi orangtua telah melaprkan fungsi positif dalam peran pola hubungan. Perawat dapat memakai informasi dan lahirnya bayi baru sebagai tambahan dalam unit keluarga, untuk membantu keluarga mempertahankan pola hubungan yang efektif.

Contoh : perilaku mencari bantuan kesehatan berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang peran sebagai orangtua baru.

5. Diagnosis Keperawatan Sindrom

Diagnosis keperawatan sindrom merupakan diagnosis keperawatan yang terdiri dari sekelompok diagnosis keperawatan aktual atau resiko, yang diduga akan muncul karena suatu kejadian atau situasi tertentu.

Contoh : sindrom kurang perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik.

MASALAH KOLABORATIF

Masalah kolaboratif adalah masalah yang nyata atau resiko yang mungkin terjadi akibat komplikasi dari penyakit atau dari pemeriksaan atau akibat pengobatan, yang mana masalah tersebut hanya bisa dicegah, diatasi, atau dikurangi dengan tindakan keperawatan yang bersifat kolaboratif. Label yang digunakan adalah : Potensial Komplikasi (PK).

MENCEGAH KESALAHAN DALAM MEMBUAT DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1. Tidak menggunakan istilah medis. Jika harus, hanya sebatas memperjelas, dengan diberi pernyataan `sekunder terhadap`.

Ex : mastektomi b.d kanker

2. Tidak merumuskan diagnosis keperawatan sebagai suatu diagnosa medis

Ex : Resiko pneumonia

3. Jangan merumuskan diagnosis keperawatan sebagai suatu intervensi keperawatan

Ex : Menggunakan pispot sesering mungkin b.d dorongan ingin berkemih

4. Jangan menggunakan istilah yang tidak jelas. Gunakan istilah / pernyataan yang lebih spesifik.

Ex : Tidak efektifnya bersihan jalan nafas b.d kesulitan bernafas

5. Jangan menulis diagnosis keperawatan yang mengulangi instruksi dokter

Ex : Instruksi untuk puasa

6. Jangan merumuskan dua masalah pada saat yang sama

Ex : Nyeri dan takut b.d prosedur operasi

7. Jangan menghubungkan masalah dengan situasi yang tidak dapat diubah

Ex : Resiko cedera b.d kebutaan

8. Jangan menuliskan etiologi atau tanda/gejala untuk masalah

Ex : Kongesti paru b.d tirah baring lama

9. Jangan membuat asumsi

Ex : Resiko perubahan peran b.d tidak berpengalaman menjadi ibu baru.

10. Jangan menulis pernyataan yang tidak bijaksana secara hukum

Ex : Kerusakan integritas kulit b.d posisi klien tidak diubah setiap 2 jam.

DOKUMENTASI DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1. Gunakan format PES untuk semua masalah aktual dan PE untuk masalah resiko

2. Catat diagnosis keperawtaan resiko ke dalam format diagnosis keperawatan

3. Gunakan istilah diagnosis keperawatan yang ada dalam NANDA ( terbaru : 2007 – 2008 )

4. Mulai pernyataan diagnosis keperawatan dengan mengidentifikasi informasi tentang data untuk diagnosis keperawatan

5. Masukkan pernyataan diagnosis keperawatan ke dalam daftar masalah

6. Hubungkan setiap diagnosis keperawatan ketika menemuan masalah perawatan

7. Gunakan diagnosis keperawatan sebagai pedoman untuk pengkajian, perencanaan, intervensi dan evaluasi.

Tujuan Dokumentasi Diagnosis Keperawatan :

1. Mengkomunikasikan masalah klien pada tim kesehatan

2. Mendemonstrasikan tanggung jawab dalam identifikasi masalah klien

3. Mengidentifikasi masalah utama untuk perkembangan intervensi keperawatan.

Diagnosis keperawatan saat ini dapat mengacu ke NANDA 2007-2008 dengan beberapa revisi diagnosis, contohnya:

“Gangguan pola tidur” (2005-2006) menjadi “Insomnia” (2007-2008).

Selain itu terdapat juga diagnosis keperawatan yang baru, diantaranya untuk peningkatan gula darah.